Telaah – Dua tahun Tol Laut, Sudah Efisienkah Logistik Kita?

Oleh Siswanto Rusdi

Oktober lalu, genap dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Tepat dua tahun pula usia tol laut yang menjadi salah satu program jangkar (program utama) kedua pasangan itu. Sejak digulirkan, tol laut menarik banyak perhatian karena begitu luas cakupannya dan konsekuensinya. Luas cakupannya karena program itu berusaha merajut ujung barat dan ujung timur Indonesia dalam satu pola trayek pelayaran yang teratur dan tak terhenti.

Masyarakat tahu begitu luasnya bentangan ini, sehingga sesungguhnya bisa disebut bahwa program tol laut itu adalah program yang ambisius. Dalam upaya mendukung pergerakan kapal-kapal tol laut nantinya akan dibuat 24 pelabuhan baru di banyak tempat di Nusantara.

Tol laut juga disebut luas konsekuensinya karena ia menelan biaya yang fantastis. Khusus untuk pembangunan 24 pelabuhan baru saja disiapkan dana sekitar Rp700 triliun. Belakangan juga disediakan subsidi bagi kapal-kapal yang melayani rute-rute yang ada dalam skema tol laut.

Sayangnya, hanya PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni/ Persero) ) yang mendapat subsidi tersebut. Padahal dari beberapa trayek tol laut yang sekarang dijalani Pelni juga sudah dilayari oleh perusahaan pelayaran nasional swasta seperti Samudera Indonesia, Meratus, Temas, dan Tanto.

Subsidi besar yang diberikan kepada Pelni menimbulkan kompetisi yang tidak sehat di dunia pelayaran dan tidak fair kepada perusahan-perusahan pelayaran yang selama ini sudah berkinerja baik dan menjadi pembayar pajak yang besar.

Menariknya, lebih dari 95 persen angkutan peti kemas antarpulau dari barat sampai timur sebetulnya dilayari oleh perusahan swasta nasional tersebut. Hasil survei dan studi konsultan Bank Dunia (2015) menunjukkan sudah terjadi kompetisi yang sangat sehat antara perusahan pelayaran tersebut dan tarif yang dikenakan juga sudah sesuai dengan “best practice”.

Kalau Pemerintah ingin melakukan trayek regular ke tempat-tempat di Indonesia timur dan membayar dengan subsidi yang murah dengan tetap menjaga kompetisi yang sehat di dunia pelayaran dalam negeri, seharusnya dilakukan dengan cara tender.

Tender dilakukan di antara perusahan-perusahan pelayaran dalam negeri (terbuka dengan persyaratan sesuai kualifikasi yang diinginkan), selain diberi persyaratan rute yang harus dilalui, ukuran kapal, frekuensi, persyaratan teknis kapal, besaran tarif maksimum, dan diberi kontrak lima tahun misalnya.

Pemenangnya adalah yang memenuhi syarat teknis dan menawarkan subsidi paling murah. Syukurlah, Kemenhub kini sedang menender pemberian subsidi kepada kapal-kapal yang melayani tol laut.

Logistik belum efisien

Sayangnya, selama dua tahun program tol laut masalah logistik nasional ternyata belum efisien. Terkesan tol laut sepertinya digagas tanpa memahami anatomi logistik nasional. Persoalan besar dalam logistik nasional terletak di pelabuhan, dalam hal ini masalah produktifitas yang rendah. Sehingga, kelihatan sepintas bagi yang tidak mengerti bahwa Indonesia kekurangan dermaga karena banyak kapal yang menunggu sandar di dermaga.

Penyelesaiannya bukan dengan membangun dermaga baru, tetapi meningkatkan produktifitas dengan menambah alat, memperbaiki manajemen terminal, mengintroduksi teknologi informasi moderen, training personal, dan pentarifan.

Jika semua pelabuhan diperbaiki produktifitasnya sesuai dengan standar “best practice”, semua pelabuhan di Indonesia sebetulnya kelebihan panjang dermaga. Dalam kalimat lain, tidak perlu membangun dermaga baru, apalagi sampai 24 pelabuhan untuk menunjang tol laut.

Hal terpenting adalah produktifitasnya diperbaiki secara masif. Dermaga baru atau terminal baru hanya dibangun di Kuala Tanjung (Sumatera Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), dan New Sorong (Papua) untuk dapat segera mengakomodasi kapal-kapal ukuran 3.000 TEU yang merupakan pendulum besar dari tol laut.

Pelabuhan-pelabuhan tersebut termasuk Tanjung Perak harus dipersiapkan untuk dapat mengakomodasi kapal-kapal ukuran 10.000 TEU dalam sepuluh tahun mendatang. Bila produktifitas di pelabuhan bisa ditingkatkan sama dengan “best practice”, kapal-kapal peti kemas dalam negeri saat ini jumlahnya sudah berlebih, sehingga tidak perlu dibangun pelabuhan baru.

Saat ini, kapal kapal tersebut lebih lama “tidur” di pelabuhan daripada berlayar. Ini yang harus dibalik, yakni harus lebih lama berlayar daripada menghabiskan waktunya di pelabuhan.

Di sisi lain, pada pelabuhan-pelabuhan di Indonesia timur, baik yang di bawah Pelindo IV maupun Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, upah buruh untuk bongkar-muat peti kemas sangat tinggi. Contoh di pelabuhan Tobelo Halmahera Utara yang beberapa waktu lalu diresmikan pengoperasiannya oleh Presiden.

Upah buruh untuk memasang selang pada keempat pojok peti kemas (hanya itu tugasnya) di lapangan upahnya Rp 1,7 juta per TEU dan di dermaga Rp 1,8 juta per TEU. Itu pun dengan produktifitas yang kurang dari delapan boks per jam dan hanya kerja sampai jam lima sore.

Hal-hal tadi jika tidak ditangani dengan kebijaksanaan yang benar, pro-bisnis, dan menciptakan daya saing yang sehat, maka nantinya akan dapat berdampak kepada “matinya” industri pelayaran peti kemas swasta nasional. Pemerintah seharusnya membuat kebijaksanaan yang konsisten untuk menumbuhkan dunia pelayaran yang sehat dan bukannya menciptakan kekacauan dengan kebijaksanaan yang seharusnya tidak dilakukan.

Sementara itu, Bank Dunia menemukan, harga barang di Ternate Maluku Utara sekitar 22 persen di atas harga barang konsumen di Jawa. Banyak orang percaya karena ongkos transpor ke sana terhitung mahal dan waktu peti kemas balik ke Jawa isinya kosong. Sesungguhnya ongkos angkut kontribusinya hanya empat persen ke Ternate. Katakanlah ada industri di sana sehingga peti kemas balik juga ada isinya, maka hanya turun dua persen.

Terus yang lainnya karena apa?

Jawabannya adalah tingginya “inventory cost” karena tidak ada kepastian kapan kapal bisa sandar di dermaga (tingginya “waiting time”, yakni lamanya kapal sandar karena rendahnya produktifitas bongkar-muat). Jadi, yang harus menjadi perhatian utama adalah perbaikan produktifitas dan bukan membangun dermaga baru.

Perbaikan produktifitas biayanya murah, tapi butuh kemauan yang besar karena berhubungan dengan orang, sehingga dalam banyak hal tidak disukai untuk dilaksanakan. Orang umumnya memang lebih suka membuat proyek dermaga baru. Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)-(ant).***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top