Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Tidak Dibarengi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

Pertumbuhan ekonomi nasional (Indonesia) 2018 mencapai 5,17%. Bahkan diprediksi akan turun menjadi 5,1 persen pada tahun 2019-2020-2021.

Sedangkan ekonomi Sulawesi tengah tumbuh diatas rata-rata nasional sebesar 6,80 Persen triwulan I, sebagaimana dicatatkan Bank Indoensia dan Badan Pusat Statistik.

Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen impor sebesar 33,05 persen. Kemudian triwulan II 2019 tumbuh menjadi 6,62 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan triwulan II 2018 (y-on-y) sebesar 6,20 persen.

Sektor investasi pertambangan dan perkebunan penyumbang peningkatan ekonomi Sulteng terbesar. Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, termasuk Sulteng.

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menempati urutan kedua setelah sektor industri pengolahan pertambangan. Produk domestik bruto indonesia pada tahun 2017 sebesar 13.589 Triliun.

Sektor industri pengolahan menyumbang 20,26 persen yaitu sebesar 2.739 Triliun sedangkan sektor pertanian menyumbang PDB sebesar 13,14 persen atau sebesar 1.786 Triliun.

Namun sayangnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, tidak dibarengi dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Bahkan masih terdapat 410,36 ribu orang (13,48 persen) yang tergolong miskin di Sulteng, sekalipun ada pengurangan sebesar 3,13 ribu orang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (dikutip pada data BPS Sulteng).

Gubernur Sulteng Drs.H.Longki Djanggola, M.Si dihadapan Badan Anggaran DPR RI di ruang Polibu kantor Gubernur beberapa waktu lalu, mengatakan pertumbuhan ekonomi Sulteng mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan rata-rata nasional yang hanya berada pada 5,1 perse.

Sementara dari anggota Banggar DPR RI menegaskan pasti Pertumbuhan ekonomi Sulteng sebesar 6,20 persen itu, tidak berlaku bagi kesejahteraan rakyat. Sebab besaran pertubuhan itu disebabkan dengan tumbuhnya investasi baik perkebunan maupun pertambangan.

Adalah investasi pertambangan yang paling dominan mendongkrak tumbuhnya perekonomian di Sulteng, namun tidak menyentuh secara langsung bagi masyarakat di daerah ini. Sehingga masih terdapat tingkat kemiskinan yang cukup tinggi.

Bukan itu saja daya beli masyarakat makin menurun. Apalagi baru saja dilanda bencana alam yang tentu saja banyak membawa korban jiwa dan kerugian materil triliunan rupiah.

Apalagi disektor pertambangan dan perkebunan lebih banyak tenaga kerja dari luar yang dipekerjakan. Sehingga tenaga kerja lokal tidak mendapat perhatian dan prioritas, apalagi membutuhkan skil tertentu.

Belum lagi kenaikan harga Sembilan pokok, termasuk harga bahan bakar minyak, dan listrik, semakin membaut masyarakat kesulitan. Celakanya lagi, bahan bakar minya (BBM) makin langka, sehingga memicu harga produksi makin besar yang tentunya nilai jual juga makin tinggi.

Ironisnya lagi, tingkat pencurian uang rakyat (Korupsi) makin meraja lela dimana-mana. Mulai pemerintahan tingkat desa sampai tingkat paling atas korupsi menjadi-jadi. Tak terkecuali oknum politisi dan kepala daerah. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top