Kok Anggota DPD RI “Protes”

 

 

Patut dipertanyakan apa hubungan antara anggota dewan perwakilan daerah (DPD) RI Dr.Abdul Rachman Thaha,SH,MH dengan 4 orang tersangka dugaan korupsi bank Sulteng?

Sampai-sampai kok terkesan “memprotes” proses hukum, penetapan tersangka dan penahanan keempat orang terduga korupsi Rp,7 miliyar di bank Sulteng itu.

Mereka yang telah ditetapkan tersangka dan ditahan itu masing-masing Rahmat Abdul Haris (RAH) Mantan Dirut Bank Sulteng, Bekti Haryono (Dirut PT. Bina Arta Prima (BAP), Nur Amin (Mantan Kadiv Kredit Bank Sulteng).

Sedangkan komisaris utama PT.BAP Asep Nurdin belum memenuhi panggilan penyidik Kejaksaan Tinggi, walaupun sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Senator yang dikenal masyarakat Sulteng dengan tagline anak guru mengaji itu bahkan mengancam akan melapor ke Kejaksaan Agung atas dugaan adanya Jaksa nakal di jajaran Kejati Sulteng.

Penetapan tersangka yang berujung penahanan para terduga korupsi di bank sulteng itu setelah adanya temuan badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP) Sulteng di Palu.

Latar belakang dugaan korupsi di Bank Sulteng yang telah menyeret empat orang tersangka diduga dengan pola pemberian kredit fiktif kepada beberapa perusahaan peminja dana (Kredit) di bank plat merah itu.

Hal ini terungkap setelah Surat Gubernur Sulteng Drs.H. Longky Djanggola,M.Si ketika itu yang di tujukan kepada Komisaris Utama Indipenden Nomor : 584/191/Ro.Ekon tertanggal 23 Maret 2021, Perihal : Penyelesaian Permasalahan PT. Bank Sulteng, sangat jelas di sampaikan poin-poin masalah membelit bank tersebut.

Gubernur Longki meminta kepada Komisaris Utama Independen untuk segera menyelesaikan berbagai masalah krusial yang tengah membelit Bank Sulteng saat itu dan bisa berdampak sistemik.

“Selain dugaan kredit macet konstruksi oleh PT.MAP ada juga kasus aplikasi “Loan Organization System” (LOS) yang belum bisa difungsikan ketika itu.

Fatalnya lagi, adanya temuan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulteng di Palu sesuai hasil exit meeting tanggal 18 Desember 2020 adanya pelampauan Batas maksimal Pemberian Kredit (BMPK) sebesar 12.08 persen pada penempatan dana di Bank MYPD di Palu.

Ditambah lagi dengan dugaan skandal kerjasama antara PT.Bank Sulteng dengan PT.BAP terkait besaran “fee marketing” yang berpotensi merugikan PT. Bank Sulteng juga menjadi sorotan Gubernur untuk segera diselesaikan.

Menanggapi surat Gubernur Sulteng, ketika itu, Komisaris Utama Independen PT.Bank Sulteng mengambil langkah tegas dan menyurat kepada Direktur Utama PT. Bank Sulteng Rahmat Abdul Haris untuk segera menyelesaikan sejumlah masalah yang terjadi.

Adapun langkah-langkah Dewan Komisaris Utama Independen meminta kepada Direktur Utama PT. Bank Sulteng Rahmat Abdul Haris agar segera menyelesaikan semua permasalahan tersebut. Seperti kasus kredit macet oleh PT.Mulyata Asri Palu (MAP), agar segera dituntaskan dan melaporkan hasilnya pada Dewan Komisaris.

Kemudian Dewan Komisaris juga meminta laporan terkait Aplikasi LOS, dalam surat tersebut yang menurut Direksi sudah dapat difungsikan.

Adapun penempatan dana PT.Bank Sulteng pada Bank MYPD sebesar Rp.223 milyar, Dewan Komisaris meminta kepada Direksi untuk memindahkan dana tersebut di Bank Pemerintah/Negara untuk menghindari resiko likuidasi pada Bank selain Bank pemerintah.

Dalam surat tersebut, Dewan Komisaris Independen juga meminta kerja sama antara PT. Bank Sulteng dengan PT.Bina Atha Prima (BAP) diberhentikan secara permanen, dan menyarankan pada Direksi untuk melakukan negosiasi besaran fee Marketing diberikan maksimal 1 persen, karena dana yang di gunakan adalah dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang bunganya lebih rendah.

Gubernur Sulteng ketika itu Drs.H.Longki Djanggola,M.Si yang dikonfirmasi Jum’at (28/5-2021), via chat di whatsappnya membenarkan surat tersebut berasal dari dirinya selaku Gubernur Sulteng.

“Betul surat gubernur ke komisaris utama utk mengingatkan komisaris sebagai pengawas management perbankan sesuai perintah uu Utk melakukan pembinaan, pengawasan sec intensif , di bank sulteng . Selanjutx utk tindak lanjut nya sdh di tindak lanjut oleh bank sulteng . Silahkqn di cross check ke komut /komisaris . Tks,”tulis Guberbur via chat di whatsappnya ketika itu.

Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha menjawab wawancara wartawan usai pertemuan dengan Kajati Agus Salim,SH,MH dan jajarannya Kamis siang (26/1-2023) mengatakan
tentunya proses penegakan hukum ini adalah hak subjektif daripada Kejaksaan tinggi.

“Nah persoalan bank Sulteng itu casenya soal keuntungan bisnis, tapi tentunya saya selalu mengingatkan Kejati dalam proses penegakan hukum tentunya mengedepankan sebuah hati nurani,”ucap Rachaman yang dikenal publik anak guru mengaji itu.

Ia mengatakan case bank Sulteng ada urusan bisnis disitu, sehingga harus dipisahkan antara urusan bisnis dengan penyertaan modal (uang) yang diberikan Nagara atau pemerintah daerah kepada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah seperti BPD/bank Sulteng itu.

“Tentunya hal ini juga saya melihat ada bisnis sehingga harus dipisahkan soal bisnis dengan keuangan negara. Karena bisnis itu tujuannya mencari keuntungan,”tegas anggota DPD RI Dapil Sulteng itu.

Namun kata Rachman kalaupun ada pelanggaran tindak pidana dalam urusan bisnis itu, ya harus diproses hukum. Hanya saja harus didudukkan secara profesional dan proforsional.

“Saya melihat bahwasanya ini kan kaitannya bisnis dengan “fee marketing” dimana PT.BAP mencari nasabah untuk bank Sulteng, termasuk penempatan dana bank Sulteng di bank lain,”jelas Rachaman.

Disinggung soal hak para tersangka dugaan korupsi di Bank Sulteng sekitar Rp, 7 miliyar untuk melakukan praperadilan, jika merasa keberatan dengan penetapan tersangkan dan penahanan oleh penyidik Kejati, kata Rachman iya mereka para tersangka akan melakukan upaya hukum itu.

“Saya melihat jika mereka melakukan upaya hukum praperadilan, maka mereka bisa bebas demi hukum karena terkait masalah fee marketing bisnis yang ditandai dengan adanya surat perjanjian kerjasama antara bank Sulteng dengan pihak lain,”terang Rachman.

Rachman dalam pertemuan dengan Kajati dan jajarannya memang sangat kritis, tajam dan menohok atas kinerja Kejati selama ini.

Bagaimana tidak, sejak Kajati di jabat Sampe Tua sampai Jacob Hendrik banyak kasus-kasus yang dipetieskan atau dihentikan penyelidikannya.

Sebut saja kasus dugaan korupsi proyek pembukaan jalan Peana-Kalamanta- Sadaunta di Kabupaten Sigi sekitar Rp, 6 miliyaran (Jaman Sampe Tua).

Kemudian kasus dugaan korupsi proyek Gardu Listrik di Morowali sebesar Rp,35 miliyar jaman Gerry Yasid.

Lalu kasus dugaan korupsi pembangunan destinasi wisata Pantai Mosing di Parigi Moutong jaman Jacob Hendrik, kasus jual beli jabatan di Pemprov Sulteng (Jacob Hendrik), kasus dugaan korupsi pasar raya Buol (Jacob Hendrik).

Mungkin itulah yang membuat Rachman menyoroti kinerja Kejati Sulteng, sampai-sampai menyebut ada oknum asisten Kejati yang pergi pulang Palu Jakarta.

“Saya saja pejabat Negara jarang-jarang saya pergi pulang Jakarta Palu, padahal ini dapil saya. Tapi asisten bapak Kajati ada yang sering saya liat pergi pulang Jakarta,”tandas Rachman dalam pertemuan dengan Kajati dan
jajarannya.

Bahkan Rachaman sempat mencari Kasi Sidik Kejati Reza Hidayat,SH,MH yang kebetulan menangani kasus empat terduga korupsi bank Sulteng.

“Reza mana, ada Reza, itu anak, saya harapkan Kejati profesional dan proforsional didalam menangani dan memproses kasus-kasus pelanggaran hukum,”kata Rachaman dengan nada kritis.

Proses hukum atas dugaan korupsi di bank Sulteng yang berujung pada penetapan dan penahanan para tersangka mendapat apresiasi dari berbagai kalangan diantaranya Rusmin Hamzah,SH,MH praktisi hukum, Dr.Jhony Salam,SH,MH akademisi Untad dan Harsono Bareky dari koalisi rakyat anti korupsi (KRAK).

Ada tiga masalah di bank sulteng yang nilainya masing-masing dugaan korupsi Rp, 7 miliyar yang saat ini sedang ditangani Kejati Sulteng.

Kemudian dugaan penipuan oknum mantan pejabat administrator bank sulteng cabang/unit Morowali senilai Rp,7 miliyar yang sendang ditangani Eksus Polda Sulteng.

Dan dugaan pemberian tantiem (hasil keuntungan) bagi komisaris dan Direksi Bank Sulteng yang belum lulus uji kelayakan dan kepatutan juga sebesar Rp, 7 miliyar.

Semoga aparat penegak hukum (APH) baik Kejati maupun Polda Sulteng mampu mengungkap semua masalah tersebut dan bekerja profesional dan proforsional. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top